Diaspora : Antara Stigma dan Kenyataan

Desember 24, 2022


Sebagai ex diaspora (sudah lama sih), saya beberapa kali melihat banyak kasus clash antara diaspora dengan netyjen media sosial. Tapi ini tidak terjadi di dunia maya saja ya, di dunia nyata dan lingkungan pergaulan saya juga ada.

Semakin hari semakin banyak cerita-cerita seperti diatas, mungkin karena pengguna media sosial semakin aktif dan lingkup pergaulan bertambah. 

Menjadi diaspora (apalagi yang tinggal dalam kultur Barat) tentu rasanya seperti ditarik-tarik oleh dua dunia.  Belum soal penerimaan masyarakat di negara asal,  yang beruntung bisa mulus blending dengan sekitar, bila tidak akhirnya akan selalu merasa jadi orang asing.

Stigma Diaspora (dan Ex-Diaspora)

Maaf, trigger warning buat yang diaspora. Jadi stigma-stigma negatif yang beredar selama ini bahwa diaspora itu :


1.  Sombong dan kurang ramah 

Tergantung orangnya. Biasanya yang seperti ini bukan yang sudah lama banget (puluhan tahun) tinggal di luar ya. Mungkin masih fase kaget budaya.

Alasan lain, seorang diaspora sudah mengalami kesulitan dalam memahami kembali cara berpikir masyarakat kultur asal.  Jadi punya solusi, semakin sedikit interaksi dengan orang dari negara asal = semakin sedikit drama/kepusingan.

Ada juga karena sedang berusaha blending dengan kultur negara baru, hingga menghindari tuntutan aneh-aneh tanpa lihat sikon dari masyarakat kultur asal. Seperti kunjungan tiba-tiba dan minta dikasih penginapan. Untuk yang tinggal di Barat, ada pengaruh kultur yang cenderung mandiri dan menekankan pada individualitas. 




2. Kebarat-baratan 

Khusus yang diaspora yang tinggal di Barat. Pengaruh lingkungan,  ya mau diapain lagi? Yang biasa jadi heboh itu bila seorang diaspora dianggap menyebarkan pandangan terlarang atau sensitif bagi kultur negara sendiri. Biasanya berhubungan dengan paham-paham tertentu, gaya hidup bebas, hingga individualis.

Tapi nggak sedikit juga, kok, yang tetap Indonesia banget, jadi kalau pulang nggak ada perbedaan antara baru pulang dari Paris atau dari Paris van Java.

Anyway, yang terlalu Timur karena baru pulang dari Timur juga ada lho. Jangan salah....intinya ya sama saja.


3. Mudah Tersinggung

Nggak semua seperti itu juga. Soal tersinggung, berdasarkan pengamatan, kebanyakan memang dialami oleh perempuan.  Bukan bikin stigma, tapi ya mau gimana, jarang saja saya melihat cowok diaspora tersinggung sampai banget. Mungkin di tema-tema khusus saja seperti diskriminasi pelangi, alami trauma atau proud  yang kebangetan.

Analisanya, mereka yang tinggal di wilayah dimana pengaruh feminisme Barat sangat kuat, akan melihat gap lebar tentang pandangan peran perempuan di kultur Barat dan Timur.  Apalagi perempuan yang memiliki pasangan asing, mungkin sudah tumek (kenyang) menghadapi stigma negatif  perempuan Indonesia yang menikahi orang asing. Mulai dari kasus bule hunter, istri ekspat, yang suka dianggap begini dan begitu.  Beda memang perlakuannya bila yang dapat pasangan asing itu laki-laki Indonesia, malah di elu-elukan, jadi panutan (kalau dapat yang cantik banget bisa diarak bikin pawai). 

Yang seperti ini  berdampak  pada cara seseorang merespon orang lain. Bisa menjadi sangat peka terhadap isu-isu-hingga kalimat-kalimat tertentu. Sekali lagi ungkapan klasik, tergantung orang yang dihadapi juga.

*Anyway, saya bicara begini beresiko siap dihujat. Dianggap nggak membela perempuan. Padahal  kelemahan baiknya dimanajemenisasi, bukan dianggap nggak ada (Baca buku Male and Female Brain, misalnya).







4. Hobi Membanding-bandingkan (tapi nggak seimbang)

Dengan cara yang kurang enak. Ini sebetulnya fase dari culture shock atau reverse culture shock yang dialami oleh seseorang, tapi orangnya nggak nyadar saja. Sayang, efeknya bikin orang dari negara asal jadi sebal.  

Cara bijak memanfaatkan fase "suka membandingkan" ini yaitu, kasih info-info perbedaan kultur, tanpa merendahkan kultur lain dan bersikap seimbang (kasih pengalaman nggak enaknya tinggal di luar juga). Toh semua kultur selalu punya kelemahan dan kelebihan.


5. Suka Bikin Ribut/Rusuh

Ah, yang kayak begini nggak harus jadi diaspora. Mungkin si pelaku kerusuhan punya masalah pribadi  atau misi tersendiri dari dunia nyata.  Misal,  ada problem di masa lalu atau memang ada target politik. Whiiy, yang terakhir ini berat ah.

Kemungkinan lain, pelaku lupa menempatkan diri dengan kultur Timur yang mengutamakan sopan santun dan lupa menahan lisan agar tidak bicara sesuai kata hati (freedom of speech). Akhirnya jadi rusuh/ribut karena ada yang tidak siap dan ke-trigger.


Cemasnya Orang Tua Bila Anaknya Menjadi Diaspora



Ini sisi yang jarang di bahas,  kecemasan orang tua  bila anaknya suatu hari menjadi diaspora. 

Tentu saja saya lebih relate dengan yang ini, karena masa-masa menjadi diaspora sudah lewat dan kadung nyaman dengan kondisi sekarang (tidak kepikiran mau jadi diaspora lagi, sulit akses dapetin rendang 😂). Saya punya pengalaman, tapi jaman kan sudah berubah juga.

Saat melihat semuanya dari sudut pandang orang tua tentu akan berbeda. Bukan berarti "gue dulu boleh rebel, tapi anak gue jangan!". Ah, pokoknya beda aja, deh. Respon mereka, para orang tua, terhadap influencer diaspora yang menghebohkan saat piala dunia kemarin, tentu lebih keras. Belum  terhadap tema-tema budaya bebas, perbedaan norma (norma kesopanan serta agama), hingga peran gender dalam masyarakat, bahkan yang paling rumit, soal identitas gender!

Kadang sesama diaspora (atau ex-diaspora) bisa sampai di kesimpulan....let's agree to disagre. Tentang apakah akhirnya yang disagree akan saling menghindari satu sama lain atau tetap hura hura bersama, itu kembali kepada kebijakan masing-masing.



Berdasarkan pengalaman saat menjadi diaspora, kultur mana yang akan kuat berpengaruh akan tergantung pada :

1. Lingkungan pergaulan selama ada di luar negeri

Artinya selama tinggal di luar negeri lebih banyak bergaul dengan masyarakat yang cenderung beda pola berpikir dan kultur terus,  atau tetap mau bergaul dengan sesama orang Indonesia yang tinggal disana (lepas dari pahit dan manisnya).

2. Pengaruh didikan lingkungan atau keluarga di masa kecil

Ini sebetulnya yang berpengaruh banget. Seberapa kuat nilai-nilai local genius dan kultur yang ditanamkan keluarga di masa kecil. Agama termasuk disini juga ya. Terutama kenangan-kenangan yang baik serta disetujui secara sadar, yang berhubungan dengan kultur negara asal. Yang hubungan dengan keluarganya dekat biasanya masih ada ikatan kehangatan negeri asal. Bila sebaliknya, ya biasanya mencari jati diri serta keluarga baru di luar sesuai dengan keinginan. 

3. Trauma yang membekas

Poin penting juga. Nggak jarang ada trauma mendalam yang membuat seseorang memilih jadi diaspora. Sebagai contoh korban dampak kerusuhan 98 dahulu. Walaupun tidak harus soal peristiwa masif. Ada juga yang terjadi dalam ruang lingkup sempit seperti alami perisakan dalam keluarga, lingkungan, dll.

4. Karakter dan sifat seseorang

Lihat juga ,karakter orang yang jadi diaspora. Model luwes, gampang terpengaruh lingkungan atau malah punya karakter/prinsip sendiri. Yang pertama,  lebih mudah blending dengan sekitar, di sisi lain kalau kena pengaruh kurang baik juga rentan. Yang terakhir, bila poin 1, 2 dan 3 aman, biasanya malah semakin tertempa di luar. Bila tidak, resiko paling ekstrim akan berubah jadi amat rebel.

Intinya, bila seorang anak akan menjadi diaspora, mungkin ada baiknya orang tua juga memperhatikan keempat point di atas. Supaya nggak kaget dan mendeteksi atau menemukan masalahnya jauh hari sebelum terlambat.


Kesimpulan

Stigma itu memang lahir dari kasus yang ada, tapi bukan berarti bisa menyamaratakan. 

Yang perlu dipahami disini adalah semakin lama tinggal di luar negeri, orang akan semakin berdaptasi dengan negara tempat ia tinggal. Seseorang itu disadari atau tidak akan memiliki toleransi terhadap sesuatu (mungkin tidak disetujui di kultur negara asal) yang jauh lebih besar. Sudah hukumnya bahwa yang banyak akan mempengaruhi yang sedikit. 

Perkecualian, bila orang tersebut memang sudah memiliki sirkel pergaulan berbau kultur negara asal yang kuat. Sehingga paparan setiap harinya seimbang. Seperti contoh adanya orang Melayu dengan model Kampung Melayu,  orang Cina dengan China Town-nya, juga komunitas keagamaan seperti Islam di luar negeri.  Atau mungkin hidup terpencil jauh dari masyarakat negara tersebut sekalian, dijamin akan bikin kultur kreasi sendiri. Hahaha...


Anyway, sebagai hiburan, simak pendapat seorang ex-diaspora lain, yang kasih pandangan dengan gaya santai, sembari bongkar satu rahasia besar di ending. Eh. Tebul banget, sih. Hihihi..

===

Mungkin pengalamanmu tentang diaspora atau jadi diaspora lebih luas dari saya, silahkan menambahkan atau boleh berdiskusi di kolom komentar.

Jadi bagaimana diaspora itu menurutmu?


Gambar fitur diambil dari pixabay, sumber media sosial twitter


You Might Also Like

22 comments

  1. sebagai diaspora, buat saya pribadi:adanya kesempatan untuk melihat dunia dengan kacamata berbeda, tidak mempertahankan pakem yg sebenarnya ga positif2 amat*ini contoh dalam keluarga saja--tdk adanya batas privacy-- saudara, kerabat, bs datang bebas ke rumah kapan saja, tanpa membuat janji, kadang sebenarnya sbg tuan rumah blm siap dan tdk nyaman*tapi dgn dalih 'kayak ketemu siapa aja..* dulu sering mengeluhkan ini: ditempat skrg, ada aturan dlm masyarakatnya untuk ga asal nyosor datang ke rumah orang tanpa buat janji, meski itu kerabat sendiri-adab diutamakn-dan saya bs dgn mudah adaptasi dgn kultur ini. Kebiasaan selalu 'mempertanyakan' dan selalu diberi jawaban tanpa berpikir itu sesuatu yang tabu: sayangnya saya msh gagap untuk menerapkannya, kemarin sempat di 'rujak' netijen hahahah, gara2 saya mempertanyakan istilan pecinta keju İndonesia dgn pecinta keju sejati, dianggap ya seperti diaspora yg cuma bs jelek2in kebiasaan org indonesia dgn kegemaran makanan viralnya, sedang hidup di luar kita cenderung saklek dgn menu itu tanpa byk modifikasi demi kata viral, yg saya bawa adalah nilai saklek menu itu dr luar, atas dasar mereka mengklaim 'pecinta keju' apakah nyicip varian lainnya. jadinya blunder:V dianggap meremehkan selera lidah orang İndonesia.
    Menurut saya diaspora jg emang banyak jenisnya sih pheb:) setuju sama tulisan diatas, lingkungan tinggal sangat amat berpengaruh. Makanya sesama diaspora saja ujungnya kita milih circle yang cocok saja, ya saya ga bs mensejajarkan dgn teman2 diaspora disini dr kelas atas meski sesama WNİ, macam emily in istanbul LOL..dr ujung rambut sampe kaki pakai barang branded, nyari kelasnya sendiri, yang mungkin lbh santai ngadepin kehidupan dan ga terlalu banyak komplain baik di negara tinggal atau kondisi tanah air sendiri, nyatanya kita hanya berpindah tempat saja, dapat kehidupan baru baik, bukan berarti kehidupan lama begitu buruki jadi ketika mudik ya biasa2 aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar jadi diaspora keuntungannya jadi nambah wawasan. Eh, saya malah baru tahu soal keju itu, mbak Rahma. So sorry, kadang ada juga yang suka nggak lihat konteks. Mau dikasih info tapi malah jatuh baper.

      Btw belum tahu mereka kalau di Prancis ada 1000 jenis keju, sempat mabok ketika berambisi mencoba semua dulu LOL. Dan memang nggak ada sama sekali rasa sama dengan keju Indonesia.

      Soal Emily, kalau di Paris saya malah jarang nemu yang hidupnya kayak dia mbak. Darren Star itu memang formula tv serinya dari dulu jualan barang branded (kayak SATC). Mungkin cari sponsor seri nya juga. Orang Paris (apalagi di daerah) hitung-hitungan banget ngeluarin duit. Pajak gede. Praktis dan lihat apa perlunya karena produk-produk Prancis ada segmen sendiri-sendiri. Sebagai contoh sepatu murmer di Tati. Yang suka mampir ke butik-butik wah seringnya turis. Pintar ya dengan cara berpikir begini, negara mereka bisa dapat banyak devisa. Hahaha.

      Saya malah nggak tahu malah ada Emily in Istambul. Artis kali ya. Coba bikin tulisannya mbak.

      Setuju. Hidup sesuai kemampuan saja udah paling enak sebenernya .

      Hapus
    2. maksudnya istilah emily in istanbul..sekelompok wni yang suka dgn pergaulan atas dan barang2 branded gitu macam emily kl dandan heheh..jadinya ya milih circle2 yg dirasa bs masuk

      Hapus
    3. Ohya kalau itu di tanah air juga ada

      Hapus
  2. Orang Indonesia yg datang ke LN, lalu menjelek2an negara sendiri karena sering ngebandingin dengan negara orang yg lebih maju memang nyatanya baru melek aja. Baru ngeliat dunia baru di luar sana yg ternyata lebih bagus dari tempat dia berasal. Normal banget. Persis kayak saya dulu yg masih aja suka bandingin kelakuan orang Indonesia vs orang luar (yang kayaknya kok lebih beradab). Tapi lama2 saya capek juga bandingin kayak gini. Faktanya, seperti yg kamu bilang di atas, gak ada negara yg 10000% sempurna. Finally, kerjaan saya skrg cuma jelek2in negara orang aja 😂 Maksudnya biar adil aja gitu. Ada baiknya, ada juga jeleknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, baru fase kenal dunia baru atau euforia. Normal banget. Ngalamin juga tapi untungnya saat itu cuma bergolak dalam pikiran doank. Hahaha..

      Setelah fase bulan madu turis selesai baru kelihatan ya mbak Nin apa-apa yang nggak sreg. Mau sistem, negara, kultur, pasti ada aja kekurangannyalah.

      Mbak Nin kalau kasih info selalu imbang, makanya saya suka juga baca blognya. Malah merasa biasa kalau terlalu banyak puji-pujian. Justru yang kritis itu yang jarang sebenarnya.

      Hapus
  3. kayanya aku paham konteksnya. ini karena ulah si Ibu Amerika, bukan?? 👀

    stigma muncul biasanya karena ada kasus spesifik yang berulang. mungkin yang melakukan hal-hal tersebut di atas sebenarnya ngga banyak, tapi karena sering terekspos, makanya jadi seolah-olah semua orang begitu.

    biasanya yang begini tuh yang merasa paling wah, merasa ingin dilihat lebih, jadinya ya merasa paling superior (padahal mungkin dianya yang inferior). wkwkwkw.

    tapi lucunya, kalo ada diaspora yang nyinyirin negara yang ditinggali, malah didukung dan dielu-elukan. seperti fenomena Bunda Korla.. jadi kalo begini, gimana coba??

    btw, kalo aku sih ya selalu mencoba menerapkan di mana bumi dijunjung di sana langit dipijak. ga ada tempat yang sempurna. walau kadang ada beberapa hal yang ga sreg baik di negara asal atau negara tinggal, ya tinggal gimana menyikapinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha...banyak lah mas Zam, bukan hanya ambil contoh baru-baru ini. Kalau yang ter-gres itu influencer Jerman yang sampai masuk berita. Memang medsos punya daya tarik yang membuat orang ingin menaklukkan. Padahal nggak sehat dan hampir tidak mungkin, akhirnya repetisi kesalahan terjadi lagi dan lagi. Bukan kasus diaspora saja sih. Dampak buruknya stigma membekas mewakili latar belakangnya ybs, bahkan bagi orang yang awalnya cuek. Better memang hati-hati kalau di medsos.

      Belum tahu kalau bunda Korla. Trims infonya mas. Mungkin ya, orang Indonesia udah jenuh dengan berita-berita gak asik tentang negeri sendiri. Jadi kayak

      "OK, we get it. Nggak usah diomongin, kita itu ngadepin yang kayak gitu hampir setiap hari. Kamu mah enak tinggal di luar."

      Ada rasa inferior yang muncul karena dibombardir itu hampir setiap hari. Padahal di luar sana masalah juga banyak. Makanya kalau ada yang jelek-jelekin negara yang ditinggalin, menarik. Berarti negara lain juga juga gak bagus gitu amat. Negara gue masih bagusan. Semacam relief atau terbuka wawasan? I don't know.

      Iyah, yang penting kitanya berhasil nyaman ada di manapun ya mas. Ambil yang baik buang yang jelek...

      Hapus
  4. Diaspora itu membuat hidup semakin berwarna, hihi...warna apa yang mau ditorehkan, tergantung pilihan masing-masing. Dari pengalaman pribadi sebagai diaspora dan orangtua anak diaspora yang lahir dan tumbuh di negara ketiga, prinsip utama dalam menjalani gaya hidup ini adalah tidak menjelek-jelekkan negara tempat tinggal/negara asal dan pantang membandingkan negara tempat tinggal sekarang dengan negara asal/negara tempat tinggal sebelumnya. Paling sering tahan napas kalau dalam suatu pembicaraan tentang suatu topik, tanpa ada yang bertanya, tiba-tiba ada yang nyeletuk dengan frekuensi yang lumayan sering bilang "Kalau di (sebut nama negara tempat tinggal sebelumnya), bla bla bla...". Semua pengalaman, menyenangkan maupun tidak, di belahan dunia manapun, pasti mengandung hikmah di baliknya. Kalau diasporanya tinggal di negara yang lebih maju dan berkembang dari negara asal, sikap memuja segala hal di negara tempat tinggal bagi sebagian orang mungkin sulit dihindari. Kalau soal drama antara para diaspora sih, lebih baik hindari dan cari lingkungan pergaulan lain saja yang lebih sehat, malu sama umur masih drama-dramaan :). Tantangan buat saya pribadi jadi diaspora itu sebenarnya lebih ke menanamkan nilai-nilai sama anak-anak, seperti yang pernah dicurhatin tempo hari ke mbak. Bagaimana anak-anak diaspora yang kelak jadi warga dunia ini tetap bisa teguh menerapkan nilai-nilai yang sudah diperkenalkan dan ditanamkan oleh keluarganya di tengah masyarakat dunia yang plural?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Paling aman dan nyaman memang ambil baiknya yah dimana-mana..

      Huhu masa kini itu juga PR buat para ortu dimanapun ya yang ingin anaknya masih memegang nilai agama dan tradisi tertentu. Kalau tidak ada mungkin lebih santai spt serahkan saja ke sekolah. Tapi memang untuk ortu diaspora tantangan benar lbh besar. Kalau udah gitu selain usaha membangun komunitas juga bnyk2 berdoa...😅

      Hapus
  5. Aku malah baru tahu istilah Diaspora ya dari mba ini... wkwk 😂 Kukira awalnya Mba Phebs mau ngomongin soal Olahraga lohh.. 😅 soalnya aku malah kepikiran Dispora.. wkwk *Maapkeun..
    Aku kurang paham sih. Tapi setuju sih kata Mas Zam diatas.
    Di YT aku suka nnton ttg keluarga Indonesia yang tinggal atau merried sama orang luar. Seru aja lihatnya, karena isi mereka kebanyakan tentang ya ngenalin budaya Indonesia atau masakannya. Jadi lihatnya adem plus harmonis. Tapi Kalau isinya udah yg ngejelek2in atau bikin rusuh biasanya langsung aku SKIP. wkwk.

    Makanya di medsos aku jarang ngikutin berita yang lagi viral. sumber berita ku cuma dari Catch Me Up dan itu udah cukup. karena isinya komplit, bahasanya milenial, dan yang terpenting nggak bikin yang baca tersulut esmosi. hehe 😁 Jadi tentram aja gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha memang tipis beda vokalnya. Saya juga suka nonton-nonton YT diaspora terutama yg informatif dan menghibur 😀 yang hanya sensasi terus skip deh.

      Medsos itu kadang kita nggak follow pun suka berseliweran mas 😂 tapi untungnya dibaca buat hiburan atau cari ide saja..

      Hapus
  6. sama kayak ka bayu, jujurly aku sendiri baru tau istilah diaspora. aku kira ada hubungannya sama olahraga :D
    video yutub diatas, pernah aku liat pas lewat di timeline aku, dan ya bener juga, kadang yang tinggal di LN ngebanggain enaknya disana dan ngebandingin sama yang di Indo.karena aku ga pernah stay lama bertahun-tahun kalau ke LN, jadi nggak bisa melihat perspektif secara luas dari negara tersebut kalau di bandingin dengan Indo.
    Ya bener juga kadang kalau pas traveling, yang diliat yang bagus bagus, yang cakep cakep, jadi metrik yang digunakan untuk ngebandingin juga masih kurang akurat juga kalau aku sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dirimu tak sendiri mba..memang sering dikira berbau menpora😂

      Ya buat yang liburan sama yg stay lama beda. 😅

      Hapus
  7. kayaknya cuman saya yang mengganggap dispora ini dinas olah raga

    BalasHapus
  8. Tulisan yang sangat menarik dan setuju pada kesimpulannya. Diaspora juga karakternya macam-macam dan mungkin yang banyak tersorot adalah mereka yang suka membanding-bandingkan kondisi di luar negeri dengan negara asal secara sepihak. Sehingga, mereka yang mungkin memberikan pandangan yang seimbang (menyampaikan pro kontra tinggal di luar negeri dan dalam negeri) kerap tidak viral karena bagi warga net info info yang disampaikan sudah biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Intinya kalau mau viral harus kontroversial dulu ya. Benar, yang adem ayem kalem biasanya nggak terlalu muncul di permukaan.

      Hapus
  9. Itu yang di video itu siapa kak, ada manis-manisnya 🤣🤣❤🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Devy Anastasia YouTuber mantan peserta Master Chef Indonesia..

      Hapus
  10. Pengalaman punya relasi dengan orang yang ex-diaspors ini yang paling kerasa itu, mereka sulit enempatkan diri mereka itu dari mana. Di sisi satu mereka adalah org Indonesia, tp mereka ga bisa "nyatu" dengan ke Indonesia an. Selamanya merass sebagai outlier 🥲 aku juga baru tau klo ini kerasa bgt, sbg bentuk 'kecocokan' sebagai Identität. Selamanya dia ga bisa relate si bagian dari mana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya biasanya fase awal begitu tinggal orangnya bisa woles, kebanyakan yang sudah bisa menerima identitas sudah settle di Indonesia dalam periode cukup lama. Cuma kalau sudah lama juga masih nggak bisa menyatu artinya memang ada yang salah.

      Hapus

Tiada kesan tanpa pesan, mari tinggalkan jejakmu di sini!^^ (komentar akan di moderasi dulu)