Kisah Tiga Madame

Juli 15, 2019


Kasih Ibu kepada beta…
Tak terhingga sepanjang masa..

Di lingkungan kiri kanan saya, banyak kasus para istri yang membahas keluhan tiada akhir mertua mereka, yang menuntut dikirimkan uang dalam jumlah berlebihan dari para suami, sehingga kebutuhan untuk anak istri untuk hidup malah tidak cukup.

Di sisi yang berbeda, sesekali saya mendengar cetusan dari ibu-ibu muda yang memendam ketakutan, sambil memeluk anak bayi laki-laki mereka. Bagaimana bila mereka tidak akur dengan menantu perempuan? Bila anak laki-laki akhirnya akan mengurus keluarganya saja, siapa yang akan merawat mereka saat tua?

Saya terkenang pada beberapa wanita yang pernah saya temui, mereka dibesarkan di negara dengan iklim cukup kejam, negara 4 musim, terbiasa hidup keras dan disiplin, supaya selamat. Kita panggil saja Madame Le Roy, Madame Mireille, dan Madame Moffet. Mereka saya kenal di beberapa tempat yang berbeda.

Madame Le Roy adalah seorang nenek berusia 60 tahun lebih. Namun melihat kegiatannya, nggak ada yang menyangka usianya sudah segitu. Dia tinggal sendiri di rumahnya yang mungil bersama kucing-kucing, sembari menyewakan properti yang di punya.

Madame Mireille berusia 50 tahun. Juga hidup sendirian. Dia bekerja di sebuah toko di kota, bila pagi dia naik sepeda meninggalkan rumah dan pulang sore. Dalam rumahnya tidak ada siapa-siapa kecuali beberapa binatang peliharaan.

Madame Moffet sama seperti madame Mireille, hidup sendiri. Masih bekerja dan dari hasil pekerjaannya dia menyempatkan diri beberapa kali jalan-jalan keliling negeri setiap weekend naik bus carteran, sendirian.

Berbeda dengan di Indonesia, disana nggak ada yang namanya asisten! Kecuali benar-benar orang kaya. Jadi para nenek dan ibu-ibu seperti para mesdames diatas sudah dipastikan nggak ngumpetin pembantu di rumah. Tetek bengek rumah? Dikerjakan sendiri! Ketika pemanas ruangan rusak, beliau betulkan sendiri, lengkap dengan perabot obeng dsb.

Sebagai informasi kebanyakan penduduk daerah biasa membetulkan atap sendiri, lho.Dan kegiatan-kegiatan semacam memasang wallpaper, dsb, adalah hal biasa. Bahkan sampai ada supermarket khusus untuk do-it-yourself mempercantik rumah.

Jadi nggak heran bila kadang kita menyaksikan orang-orang yang sedang bersemangat menggergaji, mengecat, dsb. Kalau sampai kita nonton dan menuduh mereka tukang bangunan, artinya kita yang kampungan, hahaha. Kadang hal-hal seperti itu bikin malu kita yang sudah terbiasa dengan asisten. Keliatan banget plongohnya ketika harus bantu-bantu mengecat!

Madame Le Roy sudah berpisah dengan suaminya. Anak dan cucunya sudah besar dan tinggal di kota lain. Mereka hanya datang ketika liburan tiba. Madame Mireille lebih beruntung, anaknya sudah mandiri semua, walaupun belum menikah, namun selalu pulang saat weekend. Madame Moffet hanya memiliki satu anak yang ada di negara lain.

Mereka semua seorang ibu. Saya melihat kilat kebanggaan di mata mereka setiap kali bercerita tentang anak-anak mereka yang jauh.

Dan, yang membuat saya kagum, tidak secuil pun keluhan yang muncul dari mulut mereka, tentang kenapa anak mereka tidak bersama mereka sekarang, kenapa cucu mereka baru menjenguk saat liburan.

Bagi mereka adalah hal normal bila sudah mencapai usia tertentu, anak-anak dilepas ke dunia luas. Yang masih ada di ketek orang tua malah akan di olok-olok atau dianggap gagal berkembang.

Saya masih ingat, bagaimana madame Le Roy di usianya itu masih bisa sibuk hadir di perkumpulan sosial. Naik mobil dan melaju setengah ngebut ke kota sambil membawa perabotan belanja, pertukangan, dsb.

Di malam hari, Madame Mireille setelah penat bekerja, menonton TV sendirian sambil ditemani binatang-binatang peliharaan. Sebuah rutinitas normal yang biasa  dinikmati seusianya. Madame Moffet, dengan daftar target travelingnya, tampak selalu sigap mengejar bus saat akan berangkat berwisata.

Mereka mandiri dan tidak menuntut banyak dari keluarganya saat hidup. Kadang saat malam panjang orang-orang seperti mereka sering menghabiskan kesendirian hanya dengan binatang peliharaan. Saya melihatnya seperti pemandangan sendu sekali, kasian amat yaa (eh,padahal buat mereka biasa-biasa saja, kali). Tentu saja ada tunjangan-tunjangan dari pemerintah untuk usia mereka, tapi mereka tetap harus mengurus diri sendiri, bukan?

Yah. Kalau di Indonesia mereka akan mendapat julukan “living a lonely life”. Dan kita akan memarah-marahi anak-anak mereka yang seolah tidak berbakti.

Tapi tidak.

Ternyata merasa kesepian dan tidak bahagia itu adalah pilihan.  Mereka, para mesdames itu, tampak tidak merasakannya. Saat kita orang Indonesia bisa sampai terlebay-lebay. Yang ada malah mereka bergaul dengan komunitas seusia di luar. Dimana yang sudah masuk di panti jompo merasakan itu adalah siklus kehidupan sewajarnya. 

Saat melihat mereka, saya jadi suka malu mengingat akan berapa banyaknya (mungkin) tuntutan kepada anak-anak saya, di hari tua.

Hanya memberi tak harap kembali…

Benerkah, kita tidak mengharap kembali? Tidak mengharap anak segera menikah agar kita bisa menimang cucu? Tidak mengharap agar anak kita bersama pasangannya nanti bisa tinggal seatap bersama kita? 

Mengapa masih banyak ibu yang mengeluhkan anaknya bersikap tidak dewasa, padahal dia tidak pernah mengajarkan anak bagaimana menjadi dewasa? Mengusirnya dari rumah bila perlu, saat dia sudah berkeluarga, demi kebaikannya sendiri?

Berapa banyak orang tidak mengindahkan tangisan anak yang masih kecil ketika akan diasramakan, dengan alasan agar anak menjadi “mandiri”, sementara diri sendiri masih menumpang tinggal di rumah orang tua selama bertahun-tahun?

Sebuah paradoks, memang, dari sebuah budaya. 

Tentu saja saya juga memaklumi, bahwa tekanan sosial di sebuah kultur ikut memegang andil dalam cara pandang kita mengenai kebahagiaan.  Sebagai contoh, saat seseorang sudah merasa puas dengan kehidupannya, selalu ada orang dikelilingnya yang menjelaskan mengapa seharusnya ybs tidak bahagia. 

Lepas dari bagaimanapun kita menilainya, itulah konsep “kasih ibu” di negeri orang. Mereka, orang-orang tua itu, menurut saya, adalah perwujudan sempurna dari kata “hanya memberi tak harap kembali”. Bukan berarti mereka tidak peduli lagi pada anak-anak mereka, mereka tetap peduli. Bahkan paham ada perubahan dalam diri anak mereka, cukup dengan mendengar intonasi, atau nada tulisan.

Saya mungkin tidak akan pernah bertemu dengan mereka lagi, ketiga madame yang luar biasa itu. Namun inspirasi mahal yang saya terima dari mereka adalah, bahwa sebetulnya tidak ada yang perlu kita takutkan dalam hidup ini sepanjang kita bersiap dan berbesar hati menikmati setiap “ fase “ yang sudah digariskan alam.

Fase untuk membesarkan anak, fase untuk melepaskannya, dan keberanian menghadapi fase kehidupan setelahnya.

Bagai sang surya menyinari dunia…


PS : kisah ini adalah re-post dari postingan lawas. Gambar fitur : ASSY dari Pixabay

 

You Might Also Like

9 comments

  1. Semoga ketika aku tua nanti bisa mandiri,tidak merepotkan anak anakku .

    BalasHapus
  2. Aku pernah kerja di panti jompo di sini. Sering ngobrol dengan para Oma Opa, bertanya apakah mereka tidak merasa kesepian. Mereka bilang tidak ada alasan untuk kesepian karena di rumah jompo justru banyak kegiatan, bermain dan bercengkrama dengan kawan sebaya. Anak2, cucu2 dan saudara2 bisa datang kapanpun dan memang mereka datang setiap minggu. Sementara Ibuku melihat hal seperti itu malah merasa kasihan. Kenapa anak2nya tidak mengurusi saja daripada tinggal di panti jompo. Konsepnya sudah beda sih ya antara orang Indonesia dengan orang sini ttg panti jompo. Di Indonesia panti jompo asosiasinya semacam tempat pembuangan orang tua. Sementara di sini kan ga gitu. Mertuaku sudah diatas 80 tahun, masih bisa bersepeda belanja kebutuhan mingguan. Tinggal sendiri sejak Papa mertua meninggal

    BalasHapus
  3. Disana semua org punya asuransi kesehatan jadi tdk ragu berobat. Kemana2 juga jalan kaki bila tdk punya mobil. Relatif lebih disiplin. Beberapa dari para madame mmg pakai obat hormon supaya punya kekuatan lebih.

    BalasHapus
  4. Itu dia mengapa kesehatan itu investasi terbesar buatku mba. Karena orang bisa kasih uang ke ortunya, tapi mereka belum tentu bisa kasih waktu.
    Waktu untuk merawat saat sakit. Jadi ya salut buat orang tua yg tetap mandiri dan sehat di usia senjanya.

    BalasHapus
  5. kalau di negara maju, fasilitas jg mendukung ya, ditambah byk yg individual, beda kebiasaan juga, org indonesia senang kumpul sanak family, ya kebayang aja bagaimana suasana hari raya. jd ketika tua bisa jadi merasa sepi.

    BalasHapus
  6. Iya environment menunjang untuk jadi tidak terbiasa tanpa keluarga.

    BalasHapus
  7. Iya, beberapa orang bilang ga bisa kirim komen. Tapi beberapa yang lainnya bisa ga ada kendala. Kenapanya aku ga paham haha kira2 kenapa ya? Aku ga pernah otak atik settingan. Cuma jetpack yang sering kuapdet. Terima kasih ya sudah baca postinganku

    BalasHapus
  8. setuju sama idenya, dan suka dengan penyajian ceritanya ^^ sy sedang mempersiapkan diri untuk menjalani hidup seperti madame Mireille, lah meski sudah mendekati umurnya, cukup lah bekal untuk mempersiapkan keluarga hahaha

    BalasHapus
  9. terima kasih...oh, tinggal di luar ya mba? sukses...

    BalasHapus

Tiada kesan tanpa pesan, mari tinggalkan jejakmu di sini!^^ (komentar akan di moderasi dulu)