Gegar Budaya Balik

Februari 08, 2021


Alkisah, seseorang Jendral membawa pasukannya dengan kapal ke sebuah daratan yang akan dikuasai. Lawan di daratan itu cukup berat. Untuk meningkatkan semangat pasukannya sampai pol, sang Jendral memerintahkan membakar kapal mereka sendiri. Dan membakar semua jembatan yang mengarahkan mereka ke jalan pulang.  

Berada dalam kondisi di titik tidak mungkin kembali (point of no return), tidak ada pilihan selain maju atau mati, para prajurit bertempur sampai titik darah penghabisan.
Menang!

Beberapa tahun lalu, saat baru pulang ke Indonesia, saya mengenal seorang perempuan, sebut saja namanya Tian. Saat saya balik, dia justru pergi merantau ke luar. Orangnya sendiri sangat pemalu.

Setelah beberapa waktu kemudian, banyak perubahan yang terjadi. Yang bagus, Tian menjadi orang yang sangat mandiri dan percaya diri. Berani bicara apa adanya. Hal wajar, kita akan melihat efek itu pada mereka-mereka yang berani merantau.

Namun sayang, meningkatnya sebuah karakter yang positif juga diikuti oleh hal yang lain.

She became emotionally bitter. Terutama bila menyangkut apapun yang berbau Indonesia.

Saya berusaha memaklumi, tentu banyak pengalaman yang dialami dengan manusia disana. Selain itu bisa jadi karena sudah melihat banyak perbandingan kehidupan dan perilaku di sebuah negara maju.

Ini dinamakan dengan gegar budaya balik (reverse culture shock).

Ketika seseorang pindah ke sebuah negara asing, dia akan menyesuaikan diri dengan kultur dan kebiasaan setempat. Itu saja sudah berat (di awal). Akan lebih berhasil bila dia nggak kelamaan menengok-nengok kembali ke negaranya yang lama. Alias suka nggak suka harus blending seutuhnya dengan negara baru. Seperti istilah di atas burn the ship. Burn all the bridges. Anggap saja sudah ada di point of no return.

Sayangnya, yang umum terjadi, seseorang itu selalu ingin terhubung dengan negara asal. Entah lewat bertemu dengan sesama Indonesia di sana, atau di dunia maya, yaitu lewat gadget. Juga bisa rajin mengintip berita Indonesia. Akhirnya terjadilah yang dinamakan gegar budaya balik. Secara tidak sadar seperti ada pertentangan hebat dalam dirinya.

Hal itu semakin diperparah dengan hadirnya media sosial. Kamu bisa membayangkan bila tubuh kamu adanya di negeri asing, tapi harus memaksakan diri dengan cara berpikir orang di Indonesia.

Saat mengikuti berita, chatting di smartphone grup lokal, atau nge-tweet di medsos, rasanya seperti kita tidak pernah pergi dari tanah air. Tapi ketika gadget ditutup, yang kita hadapi adalah budaya yang lain. Eh, ini kecuali disana lebih banyak bergaul dengan orang Indonesia, ya.

Efek psikis dari gegar budaya dan gegar budaya balik ini seringkali tidak disadari. Sama seperti yang dialami Tian. Sulit menerima kenapa kita disini berperilaku begini dan begitu.

Padahal kalau kita coba zoom out dengan nalar dan logika. Ya, dari dulu juga disini orang berperilaku begini dan begitu 'kan, ya. 😅 Paling berubah-berubah sedikit perlahan-lahan. Cuma nggak sampai drastis.

Yang menarik, jaman sekarang pun orang bisa mengalami gegar budaya tanpa harus tinggal di luar negeri. Terima kasih pada internet.

Bila setiap hari seseorang terpapar dengan kehidupan di negeri maju jauh lebih banyak dari kehidupan dunia nyata....saat menutup dunia maya, dia akan mengalami efek yang (mungkin) dialami oleh orang Indonesia yang tinggal di luar. Kok disini gini? Kenapa nggak kayak disana?

It's not a nice feeling. Really.

Untungnya, Tian kemudian melakukan tindakan yang benar. Dia memutuskan untuk konseling, demi mengatasi pergumulan perasaannya. Pelan-pelan saya lihat kepahitannya berkurang. Ada perubahan nada jadi lebih kearah positif. Menurutnya, kepahitan itu terjadi karena ikatan masa lalunya di Indonesia terlalu kuat. Sementara kultur di tempatnya kini tinggal berbeda. Jadi seperti ditarik-tarik antara dua budaya. Satu-satunya yang perlu dia lakukan adalah berdamai dengan masa lalu.

Saya tahu betul yang namanya gegar budaya balik itu seperti apa, karena pernah mengalami sendiri efeknya yang aduhai. 😆

Namun saya tidak lama bergumul dengan gegar budaya balik, mungkin karena (ini sebuah blessing in disguise) aktif belajar tentang ilmu terapi. Sedikit banyak itu cukup berperan besar dalam masa transisi. 🙄 Saya juga memiliki kawan di real life, yang terdiri dari kumpulan orang-orang yang sangat pengertian. Jadi punya tempat melarikan diri sejenak. I burnt all the bridges.

Mengatasi gegar budaya balik, jauh lebih mudah bagi yang pulang bukan karena terpaksa. Sebab seseorang akan memiliki banyak motivasi. Di kampung halaman sendiri (kecuali ada "tema masa lalu mengakar"), kita akan cepat sekali burn all the bridges yang menghubungkan dengan negeri lain. Yaa... namanya negara tempat lahir, template kebiasaannya sudah ada di otak. Apalagi kalau sudah kulineran, betul, nggak? 🤣

Kegagalan menghadapi gegar budaya balik, saya perhatikan, sebagian besar karena masih separuh hati untuk burn all the bridges. Alias hatinya masih di tempat lain, badannya saja yang pulang. Jujur saja, itu akan susah sekali buat melebur sepenuhnya dengan masyarakat sekitar (bukan secara fisik juga tapi secara pemikiran). Ada saja yang salah atau dikeluhkan atau dikritisi.

Pelajaran yang didapat, untuk bisa selamat secara psikis, penting sekali untuk sepenuhnya hadir di masa sekarang. Apalagi di awal masa transisi, just burn all the bridges to the past. Siapkan jiwa raga untuk menghadapi apa yang di depan mata. Kalau psikis sudah normal kembali, bolehlah kita mulai menengok-nengok kebelakang, bernostalgia. Niscaya yang terlihat adalah yang manis-manis, bukan terasa pahit. Kita juga bisa menilai segala sesuatu dengan jauh lebih obyektif.🙂

Pelajaran berikutnya, agar kita mewaspadai segala bentuk gegar budaya termasuk yang disebabkan oleh arus informasi dari internet dan media sosial.

Memaklumi juga, mengapa banyak sekali statemen-statemen membandingkan yang sering dikeluarkan oleh orang-orang, yang mungkin tanpa sadar mengalami gegar budaya balik. 😲

Ini seringkali sangat menular (pada dasarnya negativisme lebih mudah menjalar daripada positivisme). Perlu disikapi dengan bijak, bukan emosional. Kita tidak pernah tahu apa yang mereka alami di luar sana, dari belakang layar. Untuk sembuh, orang yang kena gegar budaya sebaiknya tidak saling berkumpul. Lebih dianjurkan untuk blending dengan sekitar di dunia nyata.

Banyak cara seseorang untuk meyakinkan diri sendiri bahwa hidupnya lebih bahagia. Tidak ada yang salah memang. 🙄Tinggal berusaha membalik sudut pandang saja. Dan tidak membuat itu seolah jadi sebuah kepahitan dari sisi kita.😅

Karena pertanyaannya adalah...

Dapatkah kita menyalahkan semua orang, berikut berbagai aspek di sebuah kultur atas kegagalan kita beradaptasi dengan kultur tersebut?

Catatan, beradaptasi bukan berarti setuju dan ngikut yang jelek-jelek, lho.😁 Lebih kepada penerimaan, kelapangan hati atas kenyataan yang ada. Niat memperbaiki, mungkin adalah cerita berikutnya.

Seperti satu quote cantik yang pernah saya baca,

"Manusia bisa menciptakan sebuah surga, dimanapun berada, selama dia memiliki kemauan untuk hidup."

I hope you have a wonderful life wherever you are.🤗


====


Kamu pernah mengalami gegar budaya sesungguhnya atau yang disebabkan oleh informasi di internet?

Gambar fitur : Grae Dickason dari Pixabay.com

You Might Also Like

6 comments

  1. tulisan bagus pheb..., apa saya ngalamin jg ya hahha, awal tahun diuji dengan permintaan suami untuk pindah warga negara, itu rasanya pikiran kalut luar biasa, menenangkan diri..sosmed detox tp twitter kagak:D cm fb dan ig, kehidupan udah ngerasa menyatu disini, tapi setengah hati msh berat melepas, padahal antara sini dan sana sebenarnya plus minusnya ga jauh beda, dr lulus SD jg terbiasa hidup jauh dr orangtua, rasanya sama aja. entah lah burn the ship. Burn all the bridges...satu sisi, ya udah lah, kehidupan udah disini, kemungkinan menetap balik jg tipis krn status pekerjaan suami, bukan diplomat bukan pebisnis. Alhasil pas nanya2..dokumennya kurang lengkap**ya sudah nafas panjang dulu hahah sampai ketemu keputusan terbaik tanpa beban dihati.

    BalasHapus
  2. Saya pernah mengalami ini kayaknya, Mbak Pheb. Benar sekali, saat pulang abis dr belanda, kerasa banget, semua serba diomelin, kok begini, andai begini. dan sebagainya. Ternyata itu namanya gegar budaya balik ya.

    Di situ saya mulai memahami, keadaan dari dulu memang begitu memang ya mbak. Jadi memang benar kata pepatah, yang bagus dari hal yang ya diambil, tapi yang bagus dari yang lama kalau bisa dipertahankan, dan jangan gumunan. hihi..

    BalasHapus
  3. Hmmmm hebat ya pengaruhnya sampai harus konseling begitu.
    Dulu aku aktif di sebuah organisasi exchange di kampus, sepertinya berkat pengalaman di organisasi tersebut dan bergesekan dengan banyak teman-teman asing membuat gue susah kena efek gegar budaya.

    Tahun 2004 juga sempat magang di Jepang selama beberapa bulan tapi gue masih menganggap Indonesia itu tempat terbaik untuk menikmati hidup melihat pro dan consnya HAHAHAHAHA. Tapi soal ini memang tergantung dari preference masing-masing orang pasti, tapi menurut gue sih untuk bekerja dan hidup, Indonesia itu masih salah stau yang ter-enak hahahahaha.

    Soal impact social media, karena platform-platform inilah yang sudah membawa gue sampai jadi profesi saat ini, jadi agak susah untuk memandang social media cuma punya efek negatif karena semua hal pasti punya positif dan negatifnya.

    Memang kalau untuk informasi di internet kita harus filter dengan hati-hati sebelum menerimanya dalam hati, gue pun menulis soal isu ini beberapa kali sejak awal-awal trend hoax mulai naik tapi memang literasi digital masy Indonesia masih harus lebih ditingkatkan.

    BalasHapus
  4. Share yang menarik, mas Didut. Tiga bulan sebetulnya masih masa honeymoon phase saat kita ke LN. Jadi seperti liburan saja, kali ya. Kita belum berubah banyak, kampung halaman juga belum. 😄

    Reverse culture shock itu hitungannya sudah tahunan. Bertahun-tahun. Kita sudah beradaptasi dengan kehidupan baru, kondisi kampung asal juga berubah. Sebagai tambahan, mereka yang dalam keseharian lebih dekat ke kultur Indonesia biasanya tdk akan menemukan masalah dg reverse culture shock 😅Apalagi bila disana sering bergaul dg org Indonesia. Btw. Jepang masih termasuk Asia, perbedaan budayanya tidak 180 derajat seperti Barat. Hanya mungkin orang-orangnya jauh lebih reserved. Menurut saya, lho.

    Sosial media nggak semuanya negatif, selama kitanya sadar impact emosi apa yg diberikan saat mengaksesnya...karena efek bagi setiap org berbeda.

    BalasHapus
  5. Woah ini tulisan lama, tp saya baru baca sekarang. Membaca tulisan kak phebie dan komen2 di sini, saya manggut2, luar biasa ya gegar budaya balik ini.
    Setelah dipikir2, saya pun sedikit mengalami gegar budaya balik lho kak. Bukan karena pernah tinggal di LN, tp dari youtube.
    Saya suka nonton vlog orang indonesia yg tinggal di amerika serikat. Sejak saat itu, saya jadi sering menyoroti kelemahan indonesia. Misal, amerika itu teratur, bersih, pembuangan sampah sudah terorganisir, halaman rumah luas2, rapi, sedangkan di indonesia sampah berserakan di pinggir jalan, tanah sempit2, rumah saling berdempetan, dll.
    Padahal, ya dari dulu indonesia memang masih begini 😁
    Paparan informasi dari dunia maya kudu disikapi secara bijak ternyata.
    Justru orang2 yg beneran pernah di LN lama, lalu balik ke indo, dan sudah bisa berdamai dg keduanya, itu bisa memandang kedua negara secara seimbang dan objektif, seperti kak phebie ini 😄

    BalasHapus
  6. Iya ini udah lama, mbak. Beneran kalau kelamaan melihat paparan dari luar otak jadi menampilkan seolah itu nyata terjadi di hadapan.
    Kalau tayangan kan itu point of view kreatornya. Suka-suka dia mau bahas dari sisi mana. 😅 Beda kalau kita alamin lgs sendiri, dihantam deh dari banyak realita di hadapan mata tanpa bisa disaring.
    Saya jadi kepo tontonannya, Amerika yg teratur bersih itu kota yg mana ya? 😅😅 Kalau New York #glup…di bagian mana…? 😅
    Fyi ada channel youtuber indo yg khusus bahas gimana aslinya di Amerika. Cari PoV imbang tayangan juga salah satu koentji cegah kena gegar budaya balik dari dunia maya, lho. 😁

    Terima kasih apresiasinya, saya juga kadang masih suka subyektif kok.😅 Nggak ngeklaim 100% obyektif. Berusaha saja mendekati.

    BalasHapus

Tiada kesan tanpa pesan, mari tinggalkan jejakmu di sini!^^ (komentar akan di moderasi dulu)